KIsah Akhir Hayat Dari Soeroso Yang Gugur Oleh Bidikan Penembak Belanda

Jakarta - Dianggap berbahaya, komandan BBRI Cianjur itu menjadi buruan militer Belanda. Seorang penembak runduk mengakhiri hidupnya. Desember 1946, perlahan-lahan tentara Inggris mulai meninggalkan Indonesia.

Mereka lantas menyerahkan kembali kekuasaan kepada tentara Belanda. Kondisi itu jelas membuat para pejuang Indonesia meradang. Tidak sudi dikembalikan kepada Belanda, perlawanan malah semakin menguat di mana-mana.

Di Cianjur, kehadiran orang-orang Belanda tentu saja mendapatkan penolakan keras. Nyaris setiap hari hidup tentara pendudukan tak pernah tenang. Selalu saja ada dari mereka yang terbunuh atau hilang diculik gerilyawan Republik. Salah satu pelaku aksi teror itu adalah pasukan Banteng Soeroso.

Nyaris setiap malam, Soeroso dan anak buahnya meneror asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi Gang Pangrango) dan induk pasukan mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer).

Merasa terganggu dengan serangan-serangan Banteng Soeroso itu, militer Belanda kemudian bertindak. Mereka melancarkan operasi khusus untuk menjebak pimpinan milisi Republik itu.

Maka disebarlah telik sandi ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat skenario penangkapan.

Singkat cerita, dibuatlah skenario penjebakan. Seorang pejuang yang sebenarnya merupakan agen intelijen Belanda suatu hari datang ke markas Banteng Soeroso.

Dengan dalih membahas strategi perjuangan, dia mengundang Soeroso untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di sebuah warung makan yang berada di kawasan Satoe Doeit (sekarang Jalan Soeroso).

Tanpa kecurigaan, Soeroso menyanggupi undangan tersebut. Ditemani dua ajudannya, Sjamsoe dan Slamet, mereka datang menjelang magrib ke rumah makan itu.

Menurut kesaksian Sjamsoe, sekira jam 19.00 mereka tiba di warung makan itu dan langsung memesan makanan. Baru saja makanan disantap, sekira satu peleton tentara Belanda mengepung tempat tersebut. Soeroso yang sadar dirinya masuk dalam jebakan lantas melakukan perlawanan.

"Kami bertiga bertarung habis-habisan, kami masing-masing hanya menggunakan sepucuk pistol,"kenang Sjamsoe.

Kendati kekuatan tidak berimbang, pertempuran berlangsung cukup seru. Beberapa kali senjata otomatis menghajar warung makan tersebut, namun ketiga gerilyawan itu tak jua terpancing untuk keluar.

Barulah setelah amunisi mulai berkurang, Soeroso memerintahkan kedua anak buahnya untuk keluar warung makan secara berpencar. Saat itulah, sebutir peluru dari seorang sniper militer Belanda menghantam Soeroso hingga terjungkal.

Slamet yang tadinya akan menolong sang komandan, malah menjadi korban sang sniper berikutnya. Tubuh keduanya yang bermandikan darah lantas bergelatakan di jalanan begitu saja.

Nasib baik masih menghampiri Sjamsoe. Begitu hantaman peluru mengenai tubuhnya, dia masih kuat melarikan diri. Beberapa ratus meter dari lokasi penyergapan dia pun ambruk namun cepat diselamatkan oleh beberapa warga setempat.

Mereka membawanya langsung ke seorang dokter bernama Ojo. Sjamsoe berhasil lolos dari maut. Luka-lukanya bisa disembuhkan oleh dr. Ojo. Dia bisa hidup panjang hingga tahun 2000.

Dari dialah, cerita rinci tentang kematian pejuang Soeroso dan Slamet (keduanya dijadikan nama jalan di Cianjur) bisa diketahui oleh khalayak saat itu dan kini tercatat rapi dalam sebuah dokumen tua yang ditulis pada tahun 1970-an.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Sejarah Suku Banjar, Suku Terbesar di Kalimantan Selatan

Mengetahui Sejarah Dan Arti Sandi Morse Pramuka