Kisah Lucu Dari Gerilyawan Indonesia Yang Lapar Dan Memakan Kucing, "Tak Ada Kelinci Kucing Pun Jadi"
Jakarta - Tak ada unggas, kucing pun bisa menjadi korban kelaparan gerilyawan Republik di era revolusi. Usai kesepakatan damai diberlakukan di atas kapal perang United States Renville pada 17 Januari 1948, Divisi Siliwangi secara resmi harus meninggalkan Jawa Barat.
Kendati merasa berat hati, ketentuan itu mau
tidak mau harus dilaksanakan oleh para prajurit. Maka jadilah mereka
berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.
MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta sendiri melaksanakan perintah
itu dengan setengah hati. Secara rahasia, MBT lantas memerintahkan
Divisi Siliwangi untuk meninggalkan sebagian kecil pasukannya di Jawa
Barat.
Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya para peneliti
Pusat Sejarah Kodam VI Siliwangi, beberapa batalyon (1 batalyon setara
dengan 700-1000 prajurit) memang diperintahkan untuk tidak ikut hijrah
dan bertahan melawan militer Belanda di Jawa Barat.
Batalyon 22 pimpinan Mayor Soegih Arto yang menguasai sektor Cililin,
Gunung Halu, Batujajar dan sebagian wilayah Ciranjang (Cianjur) adalah
salah satu pasukan yang harus tetap tinggal. Itu bahkan langsung
diperintahkan oleh atasannya Letnan Kolonel Daan Jahja (Komandan Brigade
Guntur Divisi Siliwangi).
"To, jij (kamu) kita rencanakan untuk tetap tinggal di Jawa Barat ...
Supaya terus mengganggu militer Belanda yang ada di sini," demikian
menurut Daan Jahja seperti dikutip dalam biografi Soegih Arto berjudul
Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto.
Jadilah mereka tinggal terus di wilayah pertahanan semula. Hanya
bedanya, mereka dilarang memakai nama kesatuan lama yakni Batalyon 22
Brigade Guntur Divisi Siliwangi. Maka terciptalah nama baru yakni
Pasukan Djaja Pangrengot. Pasukan ini kemudian berubah menjadi unit-unit
mandiri yang sepenuhnya phony tanpa garis komando yang jelas (kecuali
kepada pimpinannya yakni Soegih Arto).
"Saya berlaku layaknya raja kecil," ujar Soegih Arto.
Sebagai kekuatan yang tidak memiliki atasan, Djaja Pangerot tentu saja
bertindak otonom. Bukan saja soal operasi militer, segala kebutuhan
termasuk logistik harus mencari sendiri. Tak jarang, kata Soegih, mereka
harus kelaparan dan hanya mengandalkan kekayaan hutan setempat.
"Kadang kita makan lapapan saja, daun-daun, buah hutan, ular dan bagong
(babi hutan)," ujar Moehidin (103 tahun), eks anggota Djaja Pangerot.
Alkisah pada suatu siang, Pasukan Djaja Pangerot berhasil menghancurkan
satu device patroli militer Belanda di Cililin. Mereka lantas dikejar
oleh beberapa unit buru sergap militer Belanda selama tiga hari
berturut-turut. Karena tak memiliki bekal cukup, mereka pada akhirnya
harus kehabisan logistik. Tak ada jalan lain mereka akhirnya harus
memakan buah-buahan hutan saja.
Singkat cerita sampailah mereka di sebuah kampung. Sayangnya, rakyat di
sana ada dalam kondisi melarat. Untuk meminta makanan, para gerilyawan
merasa tak tega. Saat perut keroncongan itulah, di halaman rumah seorang
warga tetiba melintaslah seekor kelinci yang melompat-lompat lalu masuk
ke kolong sebuah rumah penduduk.
"Kami saling berkedip mata dan diam-diam merencanakan akan membekuk si
kelinci itu nanti begitu gelap datang," kenang Soegih Arto dalam Bunga
Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid I yang diterbitkan oleh Markas
Besar LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia).
Tak terasa gelap pun datang. Bak pasukan komando, tim eksekusi yang
langsung dipimpin oleh Mayor Soegih Arto mengendap-endap di bawah kolong
rumah. Begitu melihat bayangan kecil putih, Soegih secara kilat
langsung menancapkan sangkurnya dan tanpa banyak cakap lantas
mengulitinya hewan malang itu dalam kegelapan.
"Malam itu kami menikmati santapan malam dengan daging bakar yang sangat lezat," kenang Soegih Arto.
Pagi-pagi mereka terbangun dalam kondisi segar. Rupanya pasokan healthy
protein telah memunculkan energi baru. Namun saat bersantai itulah,
mereka dikejutkan oleh munculnya 'kelinci yang mereka makan malam tadi'
masih melompat-lompat dengan riangnya.
Setelah sadar, seorang anak buah Soegih Arto lantas berlari menemukan
bekas tempat 'penjagalan malam tadi'. Alangkah terkejutnya dia begitu
melihat kepala hewan yang dibuangnya ternyata bukan kepala kelinci,
melainkan kepala kucing!
Informasi menggelikan itu lantas diumumkan kepada seluruh anggota yang
sudah kadung menikmati santapan malam daging kucing tersebut. Mendengar
itu, Soegih Arto sendiri hanya melongo lantas tertawa tak
habis-habisnya. Ya, apa boleh buat, katanya, tak ada kelinci, kucing
word play here jadi.
Komentar
Posting Komentar